“Linda!”
teriak Bu Ida dengan nada marah. “Apa yang sedang kau lamunkan? Sejak tadi ibu
memanggil-manggil namamu tetapi seolah-olah kau tidak mendengarnya, dan terus
saja asyik dengan lamunanmu, sepulang sekolah nanti ibu akan berbicara
denganmu.”, teriak Bu Ida dari kejauhan. “Uh…!”, jawabku cuma menggumam. “Kalau
sudah begini pastilah aku akan mendengar ocehan Bu Ida panjang lebar, malas rasanya!”,
gumamku karena kesal.
Ibu Ida
adalah Wali Kelasku, ia cerewat walaupun terkadang ia baik juga padaku. Hampir
setengah jam aku mendengar omelan Bu Ida yang tak sepenuhnya aku mengerti, yang
penting kuanggukkan kepalaku pertanda aku mengerti apa yang ia ucapkan.
Jam
menunjukkan pukul dua siang, seperti biasa sopir setiaku sudah menunggu di
depan sekolah. Lorong-lorong sekolah terlihat sepi karena memang murid-murid
lainnya sudah pulang sejak tadi. “Uh kalau saja bukan karena Bu Ida pastilah
aku sudah tertidur pulas di kamarku”, kataku dalam hati sambil menggerutu.
Pintu rumah
dibuka oleh bibi, seperti biasa sepulang sekolah tidak ada seorang pun yang
menyambut kedatanganku, kecuali bibi. “Bibi siapkan makan sekarang ya, neng?”,
ucap bibi dengan lemah lembut. Aku hanya menggeleng, badan ini rasanya lemah
dan lelah sekali, kubaringkan tubuhku dan mencoba memejamkan mataku,
kuingat-ingat lagi sudah hampir satu bulan ini aku tidak bertemu ayah dan
ibuku, meskipun kami tinggal dalam satu rumah.
Apa yang
ayah dan ibu pikirkan, apa mereka kira dengan harta aku yang menjadi anak
satu-satunya akan dapat hidup bahagia?”, pikirku terus melayang, menerawang,
mengingat saat-saat indah ketika aku masih balita. Semua keperluanku ibu yang
mempersiapkan dan ayah pun masih sempat mengantarku sekolah meskipun cuma
sesekali.
“Racu…un…!”,
terdengar suara cangcuters di Handphoneku langsung cepat-cepat ku sambar Black
Berry dan kutempelkan di telingaku. “Hallo… OK!”, jawabku singkat. Lusi teman
sebangkuku mengundang ulang tahun di rumahnya.
Sudah
beberapa tahun ini orangtuaku tidak ingat lagi kapan ulang tahunku aku pun juga
tidak berminat mengingatkan mereka, paling-paling aku mengajak teman-temanku
untuk merayakan ulang tahunku dengan berfoya-foya menghabiskan uang yang
sepertinya tidak akan pernah habis, karena memang orangtuaku selalu memberiku
uang yang berlebihan, itu sebabnya dimanapun aku berada selalu saja teman-teman
senang mendekatiku, karena memang aku adalah orang yang royal dalam masalah
uang.
Pagi ini aku
agak malas berangkat ke sekolah, tetapi Bu Ida pasti marah jika aku tidak masuk
sekolah dan mengikuti ulangan hari ini, apalagi sebentar lagi akan ada ulangan
kenaikan kelas. Dengan diantar sopir aku sengaja meminta berhenti di halte bus,
biasanya aku sering melihat seorang remaja yang mungkin seumuranku berdiri di
ujung halte bus. Jika aku lewat di daerah itu ketika berangkat sekolah aku
selalu menengok dan memperhatikannya, entahlah aku seperti sudah mengenalnnya
wajahnya yang sejuk dan kedua bola matanya yang bening, membuatku ingin
berteman dengannya, seperti ada magnet yang menarikku ke arahnya. Tapi justru
hari ini aku tidak melihatnya, akhirnya kulanjutkan ke sekolah dengan naik bus
kota. Rasanya asyik juga sekali-kali bergelayutan dan berdesak-desakan dengan penumpang
lain, sejak saat itu aku lebih sering ke sekolah dengan naik bus kota, selain
aku menemukan keasyikan baru, aku juga penasaran dengan “teman” yang belum
kukenal itu.
Sudah satu
minggu aku tidak diantar oleh Pak Rahmad sopirku, setiap hari ia bertanya
“Kenapa sih neng sekarang tidak mau diantar bapak lagi, marah ya dengan
bapak?”. “Ah… Pak Rahmat bisa aja, Linda cuma ingin mencari suasana baru aja,
awas jangan bilang-bilang ayah dan ibu”, kataku sambil melotot, ku lihat Pak
Rahmad tersenyum sambil menganngguk-anggukkan kepalanya, aku yang tadinya
cemberut ikut tersenyum melihat tingkah laku Pak Rahmad yang terus
manggut-manggut.
Pak Rahmad
ialah bapak tua yang masih bekerja keras meskipun harus meninggalkan
keluarganya, pastilah anak-anak Pak Rahmad juga kesepian karena Pak Rahmad
hanya libur di hari Minggu, itu pun jika kami tidak membutuhkannya,
kadang-kadang ia harus lembur juga di hari minggu, bagaimana dengan istri Pak
Rahmad apa ia juga harus bekerja seharian untuk memenuhi kebutuhan keluarganya?
Ingin sekali aku menanyakannya pada Pak Rahmad, tetapi aku harus segera
berangkat karena jam sudah menunjukkan pukul 06.15.
Di dalam bus
aku masih terus melamun sampai tanpa terasa seseorang duduk di sampingku, waktu
aku melirik ke arahnya betapa kagetnya aku ternyata “teman” yang
kutunggu-tunggu duduk di sampingku, belum hilang rasa kagetku, tiba-tiba bus
berhenti, dan beberapa siswa SMP berebut turun, aku pun harus turun karena
ternyata aku sudah sampai di sekolah. Ku dengar pintu kamarku diketuk berkali-kali,
“Linda ini ibu Nak…!”, kata ibuku yang suaranya aku sudah merasa asing karena
jarang bertemu, kulirik jam beker di meja sudah pukul 04.00 pagi, “Masuk aja
Bu… pintu kamarnya memang tidak terkunci”, ucapku lemas karena masih mengantuk.
“Ada apa Bu?”, tanyaku penasaran, “Begini Lin, ibu dan ayah harus pergi keluar
kota untuk beberapa hari”, kata ibu menjelaskan. Aku hanya terdiam dan membatin
dalam hatiku, “Apa bedanya ibu di rumah atau di luar kota sama saja aku tidak
pernah merasakan kehadirannya!”. “Eyangmu sakit, jadi ibu dan ayah harus ke
sana, kebetulan juga ayahmu ada pekerjaan di Semarang, jadi mungkin kita pergi
agak lama”, jelas ibu panjang lebar.
Kali ini aku
pergi ke sekolah dengan semangat pasti dengan semangat, karena pasti aku akan
bertemu dengan “teman” yang selalu ingin aku kenal. Pukul 06.00 pagi ini udara
dingin menusuk sampai ke tulang-tulangku, ngilu rasanya, kurapatkan ke dua
tanganku ke dada, mencoba menghangatkan badanku. Sudah setengah jam lewat aku
menunggu di bangku halte bus dan ada beberapa bus yang lewat, tapi aku tidak
berniat naik, karena aku sedang menunggu seseorang.
Setelah
hampir putus asa tiba-tiba aku melihatnya munuju ke arahku, arah halte bus
maksudku. Cepat-cepat kuhampiri, kulihat ia agak bingung melihatku, tapi senyum
dan sinar matanya tetap terlihat ramah. Kami pun saling melempar senyum, “Kita
naik bus yang sama kan?”, kataku untuk memecahkan keheningan. “Ya”, jawabnya
singkat.
Tak banyak
yang kami bicarakan dalam perjalanan menuju sekolah, meskipun begitu aku sudah
merasa akrab apalagi saat aku mengetahui namanya, “Melisa”, nama itu seperti
tidak asing bagiku. Sejak hari itu kami jadi sering bertemu dan benar saja, dia
begitu ramah dan sederhana, dia tulus dalam berteman tidak seperti teman-teman
di sekolahku yang mendekatiku karena aku anak orang berduit yang bisa diajak
mereka bersenang-senang dan berfoya-foya.
Siang yang
terik ini tidak terlalu kuhiraukan, aku berjalan menuju taman kota, Lisa sudah
menunggu di sana, aku berbincang-bincang panjang lebar dengannya kadang
diselingi tertawa riang, rasanya aku menemukan seorang kakak, karena memang
usianya lebih tua dariku setahun, sekarang ia duduk di kelas VIII sedang aku
baru duduk di kelas VII.
Ulangan umum
tinggal beberapa minggu lagi, kami sama-sama sibuk, hingga aku tidak lagi
sempat bertemu Lisa, dan hari ini aku berniat untuk pergi ke rumahnya, Alamat
tepatnya aku juga belum tahu. Sepulang sekolah kusempatkan untuk mencari alamat
Lisa, setelah bertanya kesana, kemari, akhirnya kutemukan juga. “Ya Tuhan inikah
rumah lisa, gubuk… inilah kata yang tepat untuk menyebutkan rumah Lisa,
sepintas penampilan Lisa memang tidak seperti anak dari keluarga miskin, memang
sih dia tidak memakai perhiasan, jam mahal, atau Handphone yang terbaru, tapi
cara berpakaiannya yang rapi, dengan warna seragam putih bersih, sungguh tidak
terlihat bahwa Lisa hidup di bawah garis kemiskinan.
Kucoba
mengetuk pintu yang setengah terbuka dari dalam terdengar suara batuk-batuk
seorang nenek. Pintu dibuka dan Lisa tampak kaget melihatku. “Linda, dari mana
kau tahu alamatku?”, tanyanya keheranan. “Tadi aku sempat bertanya dengan
beberapa orang dan akhirnya sampailah aku disini”, kataku untuk menjelaskan.
“Kau tinggal bersama siapa di sini?,” tanyaku padanya. “Aku tinggal bersama
nenek dan kakekku, nenekku sakit dan kakekku pergi ke luar kota, mengantar
majikannya”, katanya sambil mengajakku masuk ke dalam rumahnya. “Lalu dimana
orangtuamu, maksudku ayah dan ibumu?”, tanyaku sambil memegang tangannya yang
dingin karena gugup. “Ayahku sudah meninggal sejak aku masih sangat kecil dan
ibuku harus pergi menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Arab Saudi”, jelasnya
sambil meneteskan air mata. “Boleh aku menjenguk nenekmu?”, kataku lemah
lembut. Kelihatannya nenek Lisa berada di kamar yang pintunya hanya terbuat
dari kain panjang, Lisa terlihat ragu-ragu dia terdiam dan memandangku dengan
pandangan yang aneh. “Hai kok diam saja, bolehkan aku melihat nenekmu?”,
tanyaku sambil menjentikkan jariku di depan wajahnya, karena ia melamun. “I… i…
iya”, jawabnya gugup.
Namun saat
aku hendak masuk ke kamar itu tiba-tiba di tariknya tanganku dengan keras oleh
Lisa. Aku kaget melihat tingkah laku Lisa, ia begitu aneh ia juga menatap
mataku dengan begitu tajam. “Kau harus siap dengan apa yang akan kau lihat di
dalam!”, kata Lisa sambil melihat ke kamar itu. “Apa yang akan kulihat? Kau
jangan membuatku takut!, kata Linda semakin penasaran. “Masuklah Lin, mungkin
ini sudah waktunya kau tahu semua rahasia ini!”, kata Lisa sambil menggandeng
tanganku menuju ke kamar itu.
Perlahan-lahan
aku masuk ke kamar yang berukuran kecil itu, dan kulihat seorang nenek
berbaring lemas, tetapi saat itu kulihat dinding kamar yang terbuat dari kayu,
aku tidak percaya dengan apa yang kulihat, aku melihat foto- fotoku terpasang
di sana, mungkin lebih dari sepuluh foto, sejak aku kecil hingga foto-fotoku
yang terbaru, kepalaku terasa pusing, dan benar-benar bingung, apalagi nenek
yang terlihat lemah itu datang dan tiba-tiba memelukku dengan erat sambil
menangis dan berkata, “Cucuku… cucuku!”, ada apalagi ini, aku melihat foto Pak
Rahmad sopir keluargaku ada di situ. Aku langsung menghampiri Lisa dan bertanya
mengenai ini semua.
Lisa
bercerita, ketika usianya hampir dua tahun, bapaknya yang bekerja sebagai sopir
di keluargaku, mendapat kecelakaan ketika mengantarkan Lindia anak kandung
bapak dan ibuku, dan anak yang malang itu meninggal sebelum sempat dibawa ke
rumah sakit, sedang bapak Lisa yang menjadi sopir di keluargaku, meninggal
setelah tiga hari dirawat di rumah sakit kulihat Lisa meneteskan air matanya
mengenang kejadian yang menimpa ayahnya, ia juga
bercerita, ketika ibunya sedang mengandung adikknya, mungkin karena ia tertekan
dengan musibah yang telah menimpanya, ibunya pun melahirkan meskipun
kandungannya belum mencapai usia sembilan bulan, dan adiknya yang baru lahir
harus dirawat di Rumah Sakit, tapi ia tidak mengerti mengapa ibunya tidak
pernah membawa adiknya pulang ke rumah. Dan baru satu tahun terakhir ini ia
mengetahui kemana adiknya, pada waktu itu ternyata adiknya dibawa ke rumah bapak
dan ibu Hermawan yang merupakan orangtua angkatku dan katanya, akulah bayi itu,
akulah adik kandungnya. Dan waktu itu Lisa benar-benar menangis dan memelukku
hingga kami berdua terhanyut dalam tangisan haru.
Setelah
kejadian itu aku dan Lisa pulang ke rumahku untuk menemui Pak Rahmad sopir yang
ternyata kakekku, karena kata Lisa ia pasti akan menceritakan semua. Hampir
semalaman aku tidak dapat memejamkan mataku, setelah aku mendengar cerita dari
Pak Rahmad, dan dari Pak Rahmad juga aku tahu ayah dan ibu ternyata bukan
orangtua kandungku, meskipun mereka begitu sayang padaku, tetapi akhir-akhir
ini mereka menjauhiku, karena mereka berniat memberi tahuku tentang rahasia
besar yang selama ini mereka simpan, mereka mengira jika aku tahu tentang
rahasia ini aku akan meninggalkan mereka.
Besok bapak dan ibu datang aku akan menyambut
mereka berdua dengan rasa sayang dan terima kasih yang sebesar-besarnya, karena
telah mengasuh dan menyayangiku dengan tulus, sehingga aku merasa memiliki
keluarga yang utuh, tambah lagi sekarang ini aku memiliki kakek, nenek dan
kakak perempuan yang menyayangiku. Terima kasih Tuhan, karena engkau t