Translate

21 Januari 2015

Rahasia Hidupku





“Linda!” teriak Bu Ida dengan nada marah. “Apa yang sedang kau lamunkan? Sejak tadi ibu memanggil-manggil namamu tetapi seolah-olah kau tidak mendengarnya, dan terus saja asyik dengan lamunanmu, sepulang sekolah nanti ibu akan berbicara denganmu.”, teriak Bu Ida dari kejauhan. “Uh…!”, jawabku cuma menggumam. “Kalau sudah begini pastilah aku akan mendengar ocehan Bu Ida panjang lebar, malas rasanya!”, gumamku karena kesal.
Ibu Ida adalah Wali Kelasku, ia cerewat walaupun terkadang ia baik juga padaku. Hampir setengah jam aku mendengar omelan Bu Ida yang tak sepenuhnya aku mengerti, yang penting kuanggukkan kepalaku pertanda aku mengerti apa yang ia ucapkan.
Jam menunjukkan pukul dua siang, seperti biasa sopir setiaku sudah menunggu di depan sekolah. Lorong-lorong sekolah terlihat sepi karena memang murid-murid lainnya sudah pulang sejak tadi. “Uh kalau saja bukan karena Bu Ida pastilah aku sudah tertidur pulas di kamarku”, kataku dalam hati sambil menggerutu.
Pintu rumah dibuka oleh bibi, seperti biasa sepulang sekolah tidak ada seorang pun yang menyambut kedatanganku, kecuali bibi. “Bibi siapkan makan sekarang ya, neng?”, ucap bibi dengan lemah lembut. Aku hanya menggeleng, badan ini rasanya lemah dan lelah sekali, kubaringkan tubuhku dan mencoba memejamkan mataku, kuingat-ingat lagi sudah hampir satu bulan ini aku tidak bertemu ayah dan ibuku, meskipun kami tinggal dalam satu rumah.
Apa yang ayah dan ibu pikirkan, apa mereka kira dengan harta aku yang menjadi anak satu-satunya akan dapat hidup bahagia?”, pikirku terus melayang, menerawang, mengingat saat-saat indah ketika aku masih balita. Semua keperluanku ibu yang mempersiapkan dan ayah pun masih sempat mengantarku sekolah meskipun cuma sesekali.
“Racu…un…!”, terdengar suara cangcuters di Handphoneku langsung cepat-cepat ku sambar Black Berry dan kutempelkan di telingaku. “Hallo… OK!”, jawabku singkat. Lusi teman sebangkuku mengundang ulang tahun di rumahnya.
Sudah beberapa tahun ini orangtuaku tidak ingat lagi kapan ulang tahunku aku pun juga tidak berminat mengingatkan mereka, paling-paling aku mengajak teman-temanku untuk merayakan ulang tahunku dengan berfoya-foya menghabiskan uang yang sepertinya tidak akan pernah habis, karena memang orangtuaku selalu memberiku uang yang berlebihan, itu sebabnya dimanapun aku berada selalu saja teman-teman senang mendekatiku, karena memang aku adalah orang yang royal dalam masalah uang.
Pagi ini aku agak malas berangkat ke sekolah, tetapi Bu Ida pasti marah jika aku tidak masuk sekolah dan mengikuti ulangan hari ini, apalagi sebentar lagi akan ada ulangan kenaikan kelas. Dengan diantar sopir aku sengaja meminta berhenti di halte bus, biasanya aku sering melihat seorang remaja yang mungkin seumuranku berdiri di ujung halte bus. Jika aku lewat di daerah itu ketika berangkat sekolah aku selalu menengok dan memperhatikannya, entahlah aku seperti sudah mengenalnnya wajahnya yang sejuk dan kedua bola matanya yang bening, membuatku ingin berteman dengannya, seperti ada magnet yang menarikku ke arahnya. Tapi justru hari ini aku tidak melihatnya, akhirnya kulanjutkan ke sekolah dengan naik bus kota. Rasanya asyik juga sekali-kali bergelayutan dan berdesak-desakan dengan penumpang lain, sejak saat itu aku lebih sering ke sekolah dengan naik bus kota, selain aku menemukan keasyikan baru, aku juga penasaran dengan “teman” yang belum kukenal itu.
Sudah satu minggu aku tidak diantar oleh Pak Rahmad sopirku, setiap hari ia bertanya “Kenapa sih neng sekarang tidak mau diantar bapak lagi, marah ya dengan bapak?”. “Ah… Pak Rahmat bisa aja, Linda cuma ingin mencari suasana baru aja, awas jangan bilang-bilang ayah dan ibu”, kataku sambil melotot, ku lihat Pak Rahmad tersenyum sambil menganngguk-anggukkan kepalanya, aku yang tadinya cemberut ikut tersenyum melihat tingkah laku Pak Rahmad yang terus manggut-manggut.
Pak Rahmad ialah bapak tua yang masih bekerja keras meskipun harus meninggalkan keluarganya, pastilah anak-anak Pak Rahmad juga kesepian karena Pak Rahmad hanya libur di hari Minggu, itu pun jika kami tidak membutuhkannya, kadang-kadang ia harus lembur juga di hari minggu, bagaimana dengan istri Pak Rahmad apa ia juga harus bekerja seharian untuk memenuhi kebutuhan keluarganya? Ingin sekali aku menanyakannya pada Pak Rahmad, tetapi aku harus segera berangkat karena jam sudah menunjukkan pukul 06.15.
Di dalam bus aku masih terus melamun sampai tanpa terasa seseorang duduk di sampingku, waktu aku melirik ke arahnya betapa kagetnya aku ternyata “teman” yang kutunggu-tunggu duduk di sampingku, belum hilang rasa kagetku, tiba-tiba bus berhenti, dan beberapa siswa SMP berebut turun, aku pun harus turun karena ternyata aku sudah sampai di sekolah. Ku dengar pintu kamarku diketuk berkali-kali, “Linda ini ibu Nak…!”, kata ibuku yang suaranya aku sudah merasa asing karena jarang bertemu, kulirik jam beker di meja sudah pukul 04.00 pagi, “Masuk aja Bu… pintu kamarnya memang tidak terkunci”, ucapku lemas karena masih mengantuk. “Ada apa Bu?”, tanyaku penasaran, “Begini Lin, ibu dan ayah harus pergi keluar kota untuk beberapa hari”, kata ibu menjelaskan. Aku hanya terdiam dan membatin dalam hatiku, “Apa bedanya ibu di rumah atau di luar kota sama saja aku tidak pernah merasakan kehadirannya!”. “Eyangmu sakit, jadi ibu dan ayah harus ke sana, kebetulan juga ayahmu ada pekerjaan di Semarang, jadi mungkin kita pergi agak lama”, jelas ibu panjang lebar.
Kali ini aku pergi ke sekolah dengan semangat pasti dengan semangat, karena pasti aku akan bertemu dengan “teman” yang selalu ingin aku kenal. Pukul 06.00 pagi ini udara dingin menusuk sampai ke tulang-tulangku, ngilu rasanya, kurapatkan ke dua tanganku ke dada, mencoba menghangatkan badanku. Sudah setengah jam lewat aku menunggu di bangku halte bus dan ada beberapa bus yang lewat, tapi aku tidak berniat naik, karena aku sedang menunggu seseorang.
Setelah hampir putus asa tiba-tiba aku melihatnya munuju ke arahku, arah halte bus maksudku. Cepat-cepat kuhampiri, kulihat ia agak bingung melihatku, tapi senyum dan sinar matanya tetap terlihat ramah. Kami pun saling melempar senyum, “Kita naik bus yang sama kan?”, kataku untuk memecahkan keheningan. “Ya”, jawabnya singkat.
Tak banyak yang kami bicarakan dalam perjalanan menuju sekolah, meskipun begitu aku sudah merasa akrab apalagi saat aku mengetahui namanya, “Melisa”, nama itu seperti tidak asing bagiku. Sejak hari itu kami jadi sering bertemu dan benar saja, dia begitu ramah dan sederhana, dia tulus dalam berteman tidak seperti teman-teman di sekolahku yang mendekatiku karena aku anak orang berduit yang bisa diajak mereka bersenang-senang dan berfoya-foya.
Siang yang terik ini tidak terlalu kuhiraukan, aku berjalan menuju taman kota, Lisa sudah menunggu di sana, aku berbincang-bincang panjang lebar dengannya kadang diselingi tertawa riang, rasanya aku menemukan seorang kakak, karena memang usianya lebih tua dariku setahun, sekarang ia duduk di kelas VIII sedang aku baru duduk di kelas VII.
Ulangan umum tinggal beberapa minggu lagi, kami sama-sama sibuk, hingga aku tidak lagi sempat bertemu Lisa, dan hari ini aku berniat untuk pergi ke rumahnya, Alamat tepatnya aku juga belum tahu. Sepulang sekolah kusempatkan untuk mencari alamat Lisa, setelah bertanya kesana, kemari, akhirnya kutemukan juga. “Ya Tuhan inikah rumah lisa, gubuk… inilah kata yang tepat untuk menyebutkan rumah Lisa, sepintas penampilan Lisa memang tidak seperti anak dari keluarga miskin, memang sih dia tidak memakai perhiasan, jam mahal, atau Handphone yang terbaru, tapi cara berpakaiannya yang rapi, dengan warna seragam putih bersih, sungguh tidak terlihat bahwa Lisa hidup di bawah garis kemiskinan.
Kucoba mengetuk pintu yang setengah terbuka dari dalam terdengar suara batuk-batuk seorang nenek. Pintu dibuka dan Lisa tampak kaget melihatku. “Linda, dari mana kau tahu alamatku?”, tanyanya keheranan. “Tadi aku sempat bertanya dengan beberapa orang dan akhirnya sampailah aku disini”, kataku untuk menjelaskan. “Kau tinggal bersama siapa di sini?,” tanyaku padanya. “Aku tinggal bersama nenek dan kakekku, nenekku sakit dan kakekku pergi ke luar kota, mengantar majikannya”, katanya sambil mengajakku masuk ke dalam rumahnya. “Lalu dimana orangtuamu, maksudku ayah dan ibumu?”, tanyaku sambil memegang tangannya yang dingin karena gugup. “Ayahku sudah meninggal sejak aku masih sangat kecil dan ibuku harus pergi menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Arab Saudi”, jelasnya sambil meneteskan air mata. “Boleh aku menjenguk nenekmu?”, kataku lemah lembut. Kelihatannya nenek Lisa berada di kamar yang pintunya hanya terbuat dari kain panjang, Lisa terlihat ragu-ragu dia terdiam dan memandangku dengan pandangan yang aneh. “Hai kok diam saja, bolehkan aku melihat nenekmu?”, tanyaku sambil menjentikkan jariku di depan wajahnya, karena ia melamun. “I… i… iya”, jawabnya gugup.
Namun saat aku hendak masuk ke kamar itu tiba-tiba di tariknya tanganku dengan keras oleh Lisa. Aku kaget melihat tingkah laku Lisa, ia begitu aneh ia juga menatap mataku dengan begitu tajam. “Kau harus siap dengan apa yang akan kau lihat di dalam!”, kata Lisa sambil melihat ke kamar itu. “Apa yang akan kulihat? Kau jangan membuatku takut!, kata Linda semakin penasaran. “Masuklah Lin, mungkin ini sudah waktunya kau tahu semua rahasia ini!”, kata Lisa sambil menggandeng tanganku menuju ke kamar itu.
Perlahan-lahan aku masuk ke kamar yang berukuran kecil itu, dan kulihat seorang nenek berbaring lemas, tetapi saat itu kulihat dinding kamar yang terbuat dari kayu, aku tidak percaya dengan apa yang kulihat, aku melihat foto- fotoku terpasang di sana, mungkin lebih dari sepuluh foto, sejak aku kecil hingga foto-fotoku yang terbaru, kepalaku terasa pusing, dan benar-benar bingung, apalagi nenek yang terlihat lemah itu datang dan tiba-tiba memelukku dengan erat sambil menangis dan berkata, “Cucuku… cucuku!”, ada apalagi ini, aku melihat foto Pak Rahmad sopir keluargaku ada di situ. Aku langsung menghampiri Lisa dan bertanya mengenai ini semua.
Lisa bercerita, ketika usianya hampir dua tahun, bapaknya yang bekerja sebagai sopir di keluargaku, mendapat kecelakaan ketika mengantarkan Lindia anak kandung bapak dan ibuku, dan anak yang malang itu meninggal sebelum sempat dibawa ke rumah sakit, sedang bapak Lisa yang menjadi sopir di keluargaku, meninggal setelah tiga hari dirawat di rumah sakit kulihat Lisa meneteskan air matanya mengenang kejadian yang menimpa ayahnya, ia juga bercerita, ketika ibunya sedang mengandung adikknya, mungkin karena ia tertekan dengan musibah yang telah menimpanya, ibunya pun melahirkan meskipun kandungannya belum mencapai usia sembilan bulan, dan adiknya yang baru lahir harus dirawat di Rumah Sakit, tapi ia tidak mengerti mengapa ibunya tidak pernah membawa adiknya pulang ke rumah. Dan baru satu tahun terakhir ini ia mengetahui kemana adiknya, pada waktu itu ternyata adiknya dibawa ke rumah bapak dan ibu Hermawan yang merupakan orangtua angkatku dan katanya, akulah bayi itu, akulah adik kandungnya. Dan waktu itu Lisa benar-benar menangis dan memelukku hingga kami berdua terhanyut dalam tangisan haru.
Setelah kejadian itu aku dan Lisa pulang ke rumahku untuk menemui Pak Rahmad sopir yang ternyata kakekku, karena kata Lisa ia pasti akan menceritakan semua. Hampir semalaman aku tidak dapat memejamkan mataku, setelah aku mendengar cerita dari Pak Rahmad, dan dari Pak Rahmad juga aku tahu ayah dan ibu ternyata bukan orangtua kandungku, meskipun mereka begitu sayang padaku, tetapi akhir-akhir ini mereka menjauhiku, karena mereka berniat memberi tahuku tentang rahasia besar yang selama ini mereka simpan, mereka mengira jika aku tahu tentang rahasia ini aku akan meninggalkan mereka.
Besok bapak dan ibu datang aku akan menyambut mereka berdua dengan rasa sayang dan terima kasih yang sebesar-besarnya, karena telah mengasuh dan menyayangiku dengan tulus, sehingga aku merasa memiliki keluarga yang utuh, tambah lagi sekarang ini aku memiliki kakek, nenek dan kakak perempuan yang menyayangiku. Terima kasih Tuhan, karena engkau t

Tidak ada komentar:

Posting Komentar