Cinta Untuk Langit
SINTHA CLARA SIANIPAR
Hari kembali bangkit. Mentari mulai terbit.
Rara bangun mencoba menyapa hari baru dengan bangun lebih awal dari biasanya.
Dia membuka jendela kamar dan menghirup udara pagi. Dihirupnya pelan-pelan.
Menikmatinya sampai ia puas. Welcome
February! Katanya dalam hati. Rara berlari menuju kamar mandi. Membersihkan
tubuhnya dan mempersiapkan diri menuju sekolah. Semangat di bulan February
menyemangati dirinya sendiri.
***
“ Pagi, Ra.” Sapa Melii, teman sekelas Rara.
“ Pagi juga, bro”
“ Kenapa lo? Daritadi gue perhatiin
senyum-senyum terus. Lagi seneng ya?”
“ Iya, dong. Bulan baru. Hari baruu!”
“ Yaelaa. Kirain lo seneng karna apa.
Nyatanya karna bulan baru doang”
“ Biasa aja dong. Buy the way, makalah sejarah elo uda selesai belum?”
“Hampir. Lo?”
“Sedikit lagi. Bantuin gue dong”
“Siniin. Gue bantu deh.”
Rara mengeluarkan laptop dari Bigbang
bagnya. Si anak yang satu itu tergila-gila banget sama Bigbang. Ituloh, boyband
korea yang ngehits tahun sekarang. Melii
menghidupkan laptop Rara dan kemudian memainkan jarinya di tuts-tuts keyboard. Rara memerhatikan dengan
saksama. Meneliti barangkali ada yang kata-kata yang salah ketik. Mereka berdua
terpaku pada layar monitor. Tenggelam dalam kesibukan proses penyelesaian
makalah.
“ Eh, Ra. Ada Andi, tuh. “ kata Melii
tiba-tiba.
“
Dimana?” Rara kemudian
memalingkan pandangan matanya dari layar monitor
Melii menunjuk keberadaan Andi melalui ekor
matanya. Kemudian kembali fokus pada layar. Rara mengalihkan pandangannya kearah
yang dimaksud Melii. Disana! Dia melewati kelas Rara. Tapi tunggu! Ada seorang perempuan menyusul dari belakang!
Perempuan itu menyikut lengan Andi. Kemudian menggandengnya. Dia Fitri. Anak kelas
X-7 pindahan dari SMA Fav dua bulan lalu. Mereka bergandengan, terlihat serasi..
Rara melihatnya dari balik kaca jendela
kelasnya. Matanya menunjukkan ekspresi hampa. Memandangi punggung Andi sampai
hilang dibalik dinding. Cukup lama ia terpaku pada pemandangan yang membuatnya
merasa sakit. Dadanya sesak menahan beban yang tiba-tiba menghantam
perasaannya. Rara memaksa bibirnya untuk tersenyum. Mencoba menerima bahwa Andi
telah punya seseorang. Walau sebenarnya itu membuat hatinya merasa pedih.
Entahlah, mungkin Rara tak berani mengakui. Bahwa ia selalu merindukan Andi.
Selalu mengharapkan Andi kembali bersamanya. Sayang sekali, khayalannya itu
hanya sebatas cerita disaat Rara bermimpi. Rindu,
aku rindu kamu, Di. Aku benar-benar rindu. Sungguh aku ingin berada diposisi
Fitri sekarang. Sialan! Rara memaki
dirinya dalam hati. Sudah lama sekali ia mencoba mengubur perasaannya itu. Tapi
kini, dengan mudahnya rasa itu hadir kembali. Mengisi penuh hati Rara yang
kosong melompong. Rara kecewa pada dirinya sendiri. Ia tak bisa melupakan Andi
dengan rentan waktu yang begitu lama. Sungguh, Rara tak mampu.
“ Ra, lo kok bengong, sih?” Melii mulai
berbicara. Tapi matanya masih terfokus pada layar. Meskipun begitu, ia mampu
melihat Rara dengan ekor matanya. Rara terlihat murung. Wajahnya tak seceria
tadi. Diam-diam, Melii menyesal memberitahu Rara insiden Andi lewat tadi. Ia
tahu hati sahabatnya telah beringsut sakit kini.
“ Enggak kok.” Jawab Rara datar.
“ Tapi muka lo kok jadi pucat gitu?”
“ Gue lagi laper aja. Tadi gue gak sarapan
dirumah. Ke kantin, yuk” ajak Rara
“ Okedeh, ayuk!”
***
“ Lo pesan apa?” Tanya Melii
“ Nasi goreng ayam. Kalo lo?” kata Rara
balik bertanya.
“ Bakso sapi”
“ Gila lo, ya. Pesanan lo bakso mulu.
Pantes muka lo mirip bakso lama-kelamaan” canda Rara.
“ Sialan lo!” ucap Melii sedikit kesal
Mereka mulai menyantap makanan mereka masing-masing.
Rara menikmati makanannya sesendok demi sesendok. Mengisi perutnya yang sedari
tadi kosong. Ia melahap dengan tenang. Berbeda dengan Melii. Melii makan
disertai desahan yang cukup keras. Pedasnya cabai merah goreng dengan saos
tomat membuat mulutnya tak berhenti mendesah. Walaupun demikian ia masih nekad
menambahkan sesendok cabai ke mangkuk baksonya lagi.
“ Astaga. Udah tau pedes, masih aja nekad
nambahin cabe lagi. Entar perut lo sakit, tau rasa!”
“ Kurang pedes, Ra. Lagian perut gue uda
kebal sama yang namanya pedes. Jadi, biasa aja, deh!”
“ Jadi ngeri sendiri, nih.”
“ Udah deh. Makan aja tuh nasi goreng lo
lagi.” Cerocos Melii bersama desahan pedasnya yg masih membahana.
Rara melanjutkan kembali acara makannya.
Tiba-tiba suara seseorang mengagetkan mereka..
“ Hey! Boleh gabung?” Tanya Annabeth
tiba-tiba sambil membawa makanannya dan meletakkannya diatas meja.
“ Boleh. Kenapa enggak?” jawab Rara.
“ Sep deh. Buy the way, ini February
kan?”
“ Iyaa. Emang lo gak punya kalender ya?
Udah tau, pake nanya!” sahut Rara cetus.
“ Haahaah. Lo sensi jugak, Ra.”
“ Yaa, abis lo nanyanya gak mikir dulu.
Seluruh dunia pun tau ini tanggal satu February dua ribu empat belas!” Rara
menjawab jutek sambil menyuap sesendok nasi goreng ke mulutnya.
“ Iya deh, bawel. Gue cuma mau ngasih
aba-aba aja kalo entar lagi Valentine. Ada rencana tukeran kado sama pacar,
nggak?”
“ Lo nyindir status jomblo karatan gue?” Rara bertanya dengan
nada ketus.
“ Hah? Lo jomblo, nih?”
“ Sindir gue sekali lagi, nih saos gue
tumpahin ke baju lo.” Rara mulai galak. Meski sebenarnya ia hanya bercanda.
“ Wiss, bahaya lu, ah. Gue gak nyinggung
lo, bro. Santai aja dong.”
“ Yaiyaa. Lagian tadi gue becanda kok.”
“ Gue tau. Elo emang udah gitu dari
sononya.”
“ Hahaah, bisa aja lo.”
“ Oh iya. Denger-denger nih, pas Valentine nanti, Osis bakal ngebacain
surat-surat cinta kita ke umum”
“ Maksud lo? Surat cinta apa?”
“ Jadi, Osis bakal nyiapin kotak surat ke
setiap kelas. Kita diperbolehkan membuat surat ke orang-orang yang kita sayang.
Terus, semua surat-surat yang udah terkumpul bakal dibacain satu per satu
didepan umum”
“ Tiap tahun emang gitu kaleee. Kurang up date lo.”
“ Masa? Kok gue baru tau, sih?”
“ Yee. Berita lo mah basi.”
“ Ya maaf, deh” kata Annabeth cemberut
seraya memakan makanannya.
“ Kalian pada ngomongin apa, sih dari tadi?”
Tanya Melii setelah ia selesai dengan urusan perutnya.
“ Gak ada. Telmi lo!” kali ini Abeth yang
sewot menjawab Melii.
“ Yaela. Pelit banget lo ngulang lagi.”
“ Males, ah” kata Abeth lagi.
“ Lo semua udah selesai belum makannya?”
suara Rara membahana. Sontak kedua temannya tadi mengangguk cepat. Mereka
menyeruput habis teh botol mereka. Kemudian bergerak membayar makanan.
Rara dan Melii pergi meninggalkan kantin.
Lain halnya dengan Annabeth, yang biasa dipanggil Abeth itu malah pergi bersama
temannya yang lain menuju perpustakaan. Sedangkan Rara dan Melii kembali ke
kelas, menyibukkan diri lagi dengan makalah Rara yang belum selesai. Rara
bilang, makalahnya bakal selesai sedikit lagi. Nyatanya, makalah Rara serba kekurangan.
Kekurangan sumber referensi dan kekurangan bahan pembahasan. Desain makalahnya
juga masih acak-acakan. Bener-bener, deh. Padahal makalah itu harus dikumpul
empat hari lagi. Melii menarik nafas panjang. Berusaha tetap tenang untuk
melanjutkan tugas Rara. Cape juga nih
ngerjainnya! Masih banyak lagi yang belum diperbaiki. Ribet, ah. Melii meneriaki kebodohannya untuk membantu Rara.
Tapi ah, yang namanya teman ya begitu. Melii tidak pernah bisa menolak
permintaan Rara. Rara juga demikian. Maklum, mereka berteman sejak lama. Sejak
masa SMP dulu, di Dharma Bhakti.
***
Mentari mulai menghilang di balik bukit.
Senja yang menemani Rara sejak tadi mulai berganti menjadi malam. Tapi Rara
masih tetap duduk di depan halaman rumahnya. Duduk beralaskan rumput liar. Di
bawah bulan yang remang-remang. Menatap langit yang mulai kelam.
Bintang-bintang pun mulai bertaburan.
Malam yang sempurna! Bisik Rara pada dirinya sendiri. Sayang sekali. Di
malam yang sesempurna itu, Rara justru merasa hampa. Matanya memandang langit
dengan penuh harap. Entah apa yang dipikirkannya sekarang. Tapi sorot matanya
terlihat pedih. Mengingat kejadian tadi. Andi
dan Fitri. Rara sungguh merasa sakit. Bertahun-tahun lalu Rara memendam
perasaannya. Bertahun-tahun ia berharap pada Andi. Nyatanya, semua harapan yang
ia berikan justru membuat hidupnya menderita. Pernah dulu, dulu sekali. Rara
dekat dengan Andi. Kedekatan itu yang membuat cinta ini tumbuh perlahan-lahan
dalam diri Rara. Pribadi Andi sangat unik. Dia selalu terlihat ceria. Orangnya
humoris juga romantis. Kesedihan yang selalu Rara rasakan perlahan-lahan hilang
oleh perilaku Andi yang selalu berhasil membuat tawa Rara menggelegar ceria. Rara
selalu merasa bahagia saat bersama Andi. Canda dan tawa selalu mewarnai kebersamaan
mereka. Saat itu hubungan mereka hanya sebatas teman. Tapi, Rara tak mau
mengharapkan yang lebih. Rara hanya ingin berada disisi Andi. Kapan pun dan
bagaimana pun keadaannya. Rara sangat merasa nyaman berada di dekatnya. Andi,
nama itu yang hadir dalam tiap mimpi-mimpi Rara. Ketika menginjak SMA, Rara merasa
sangat senang. Rara dan Andi berhasil masuk dalam sebuah SMA unggul di kota
tempat mereka tinggal. Tapi apa yang terjadi? Andi berubah 18o derajat!
Senyumnya untuk Rara pudar kini. Andi tak pernah lagi berbicara dengan Rara.
Bahkan untuk bertegur sapa saja tidak! Rara memang berbeda kelas dengan Andi.
Tapi itu tak jadi masalah, bukan? Dulu, SMP mereka berbeda. tetapi komunikasi
dan hubungan mereka tetap lancar. Justru kini, setelah mereka berada di SMA
yang sama, Andi malah berubah. Alasannya jelas Rara tak tahu. Bicara langsung
kepada Andi saja dia tak berani. Sorot mata Andi tak seperti dulu lagi. Tak
seakrab dulu lagi. Kelam. Ada apa? Kenapa? Rara bertanya-tanya sendiri. Tapi
sampai detik ini, jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya tak kunjung tiba. Dada Rara
sesak. air mukanya berubah perih. Derita batin yang ia rasakan kini sungguh
membuat jiwanya terbebani. Rara bingung harus berbuat apa. Selama ini dia
selalu memendamnya. Apa Rara harus memilih untuk memendamnya lagi?
Perlahan-lahan rindu yang selama ini selalu ditepis Rara bangkit lagi. Bangkit
bersama rembulan yang mulai meninggi. Pertanda malam sudah mulai larut. Rara
memilih untuk kembali kerumah. Menonton cartoon
mungkin akan mengalihkan perasaannya sementara. Andai kamu tau, Di..
***
“ Raraa!” Melii berteriak tepat didepan
telinga Rara. Membuat telinga si gadis itu merasa pekak.
“Apa, sih? Ini perpustakaan! Berisik banget
tau!” cetus Rara sedikit kesal. Melii memang selalu begitu. Selalu mengganggu Rara
saat sedang sibuk dengan bukunya. Yaa, Melii merasa bosan dong kalau harus
nungguin Rara selesai dengan bacaannya. Kalau ketemu buku, Rara benar-benar
lupa waktu, lupa sama temannya, lupa sama perutnya, tak hanya itu. Rara juga
bisa-bisa lupa diri. Bahaya, kan!
“ Kalo lo masih asik sama bacaan lo, gue ke
kantin aja, deh. Laper!”
“ Hmmm. Iya deh”
“Lo gak laper?”
“Enggak”
“Yaudah deh. Gue pergi dulu.” Melii pun
beranjak dari tempat duduk. Menuju kantin seberang untuk mengisi perut.
Rara masih berkutat pada buku yang sedang
ia baca. Judulnya Langit tanpa Bintang. Menceritakan
kisah yang hampir sama dengan apa yang dialaminya bersama Andi. Sayang sekali,
ceritanya berakhir bahagia. Tak seperti cerita hidup yang dialami Rara. Entah
sampai kapan berakhir, Rara pun tak tahu.
Sebentar lagi Valentine day. Rara memikirkan sesuatu. Kotak surat..
Rara mulai berpikir untuk melakukan
sesuatu. Rara segera mengambil secarik kertas. Jemarinya menari-nari bersama
pena ukuran kecil berwarna biru. Sesekali, ia menatap langit-langit
perpustakaan. Memikirkan sejenak apa yang akan ia tuliskan. Imajinasinya dia
biarkan mengalir begitu saja. Ia hanya mengikuti aliran imajinya sebisa
mungkin. Merangkai kata demi kata dengan seksama. Merasa cukup, ia pun
mengembalikan buku yang ia baca di perpustakaan tadi. Membereskan alat-alat
tulisnya, dan segera beranjak keluar dari perpustakaan. Menyusul Melii di
kantin seberang. Ditentengnya tempat pensil berpita biru dan melipat secarik
kertas yang menjadi objek imajinasinya tadi. Kertas itu disimpannya di kantung
seragam bagian kiri atas. Sepertinya ia tak mau ada seorang pun yang akan
membacanya.
***
Rara berdiri di depan kotak surat Valentine. Jemarinya menggenggam sebuah
kertas yang terlipat rapi. Ia terlihat ragu. Batinnya berperang, antara
memasukkan kertas tersebut atau tidak. Rara memberanikan diri mendekatkan
ujung kertas itu ke bibir kotak. Tapi..
“Hey. Nulis surat buat siapa?” Seseorang
mengagetkan Rara. Sialan! Rara menarik nafas. Merilekskan saraf-sarafnya
yang sedari tadi kejang. Menenangkan jantungnya yang berdetak cepat. Ketahuan
deh! Rara memalingkan wajah ke sumber suara. Fitri..
“Oh. Ya ampun. Lo ngagetin gue banget
tauuu” kata Rara. Ada perubahan pada ekspresi wajah Rara. Ada sorot mata sinis
yang terpancarkan olehnya. Tapi, ia berusaha menutupi.
“Hayoo. Ketahuan, nih.”
“Yee, ini tuh suratnya temen gue. Dia
nyuruh gue masukin ke kotak. Dia lagi dikamar mandi, tauu” Rara membalas tak
mau kalah. Bohongnya kali ini refleks sekali. Tapi masuk akal juga, sih.
“Oh gitu ya. Gak percaya, Ra” Fitri
membalas lagi.
“ Yaudah. Ini surat gue balikin ke teman
gue, deh. Biar dia sendiri aja yang masukin ke kotak. Biar lo gak curigain guee’’
Rara bohomg lagi.
“Haahah. Terserah lo deh, Ra”
“Buy
the way, lo ngapain disini?” Rara bertanya.
“Gue? Oh. Gue lagi nungguin Andi. Dia lagi
dikantor guru. Ngurusin seleksi pemilihan Group Olimpiade sama Pak Raston” Fitri menjawab sedetail mungkin. Rara
bergidik mendengar jawaban Fitri. Gak
penting tau!
“ Yaudah, deh. Gue balik dulu yaa,” Rara
memutuskan untuk mengakhiri percakapannya dengan Fitri. Ia berbalik dan menuju
kantin. Menemui Melii dan segera mengajaknya pulang. Disimpannya kembali kertas
berlipat itu dengan hati-hati dikantungnya. Ia memutuskan untuk tidak akan
memasukkannya ke kotak. Tidak, tidak akan pernah. Cemburu lagi. Dia merasa
cemburu dengan Fitri. Rasa cemburu itu membakar akal sehat Rara. Entahlah, dia
tidak mau berpikir panjang lagi. Surat yang ia tulis kini tetap didalam
genggamannya. Sampai kapan pun, mungkin Andi tak akan pernah tahu..
***
Rara duduk beralas rerumputan lagi ditengah
sinar rembulan. Entah sudah berapa lama ia habiskan waktunya berdiam diri
disana. Ia menatap langit, sorot matanya yang kosong menandakan keperihan yang
ia rasakan. Kertas yang ia genggam sedari tadi ia buka perlahan-lahan. Matanya
menelusuri kalimat demi kalimat. Ia membaca dalam hati..
Ibarat
langit, yang datang menerangi dengan sang mentari. Kau terangi hati ini, dengan
kasih paling suci. Dan ketika gelap mulai datang membayang, kau hadirkan
bintang-bintang kecil dan rembulan
sebagai penerang gempita. Saat jiwa ini mulai redup dan temaram, kau
hadirkan bagiku si penenang jiwa. Senyum dan tawamu, hai langit! Cinta ini
tumbuh terlalu dalam untukmu. Akarnya yang kuat menghujam jantung yang mulai
lemah.Rindu yang menemaniku kini hinggap dalam setiap tetesan darah. Cinta ini
begitu melekat dalam sudut hati yang rentan. Cinta ini untukmu wahai langit!
Sayang,
jarak tetap saja membentang, jarak selalu menjadi penghalang. Begitu panjang.
Sampai detik-detik nadiku yang berdenyut serasa lengang. Seakan tak mungkin
membawaku menujumu. Kau begitu jauh, merebak, mendekam setiap hari yang kulalui
dengan jarak tak terbayang. Perih ketika mata ini memandang langit. Karna
kemana pun kubawa diriku berlari, langit tetap disana. Menelungkupi semesta.
Melebar dan meluas diangkasa. Entah bagaimana lagi kuartikan hidup ini. Aku
semakin lelah dengan rindu yang semakin merembes masuk dalam setiap tarikan
nafas. Aku semakin yakin kau tak mampu kugapai. Aku pun semakin berharap jarak
dan waktu datang menerkam. Dan segera mengakhiri kesia-siaan ini. Segera
mengakhirinya..
Langit
ku kini berubah warna menjadi kelam..
Aku
tak tahu apa yang menjadi penghalang bagi kita. Seiring berjalannya waktu,
jarak antara kita semakin melampaui segala asa. Aku tak tahu harus mengakui
apa. Aku tak mengerti dengan sikapmu kini. Kucoba lupakan, namun aku tak mampu.
Nyatanya, apapun yang terjadi, cinta ini tetap milikmu. Cinta yang
bertahun-tahun tersimpan dalam debu-debu kerinduan..
Terima
kasih, Langit biruku..
Missyou,
R.S
Tidak ada komentar:
Posting Komentar