Translate

07 Agustus 2014

Cinta Untuk Langit



Cinta Untuk Langit 

  SINTHA  CLARA  SIANIPAR


Hari kembali bangkit. Mentari mulai terbit. Rara bangun mencoba menyapa hari baru dengan bangun lebih awal dari biasanya. Dia membuka jendela kamar dan menghirup udara pagi. Dihirupnya pelan-pelan. Menikmatinya sampai ia puas. Welcome February! Katanya dalam hati. Rara berlari menuju kamar mandi. Membersihkan tubuhnya dan mempersiapkan diri menuju sekolah. Semangat di bulan February menyemangati dirinya sendiri.
***
“ Pagi, Ra.” Sapa Melii, teman sekelas Rara.
“ Pagi juga, bro”
“ Kenapa lo? Daritadi gue perhatiin senyum-senyum terus. Lagi seneng ya?”
“ Iya, dong. Bulan baru. Hari baruu!”
“ Yaelaa. Kirain lo seneng karna apa. Nyatanya karna bulan baru doang”
“ Biasa aja dong. Buy the way, makalah sejarah elo uda selesai belum?”
“Hampir. Lo?”
“Sedikit lagi. Bantuin gue dong”
“Siniin. Gue bantu deh.”
Rara mengeluarkan laptop dari Bigbang bagnya. Si anak yang satu itu tergila-gila banget sama Bigbang. Ituloh, boyband korea yang ngehits  tahun sekarang. Melii menghidupkan laptop Rara dan kemudian memainkan jarinya di tuts-tuts keyboard. Rara memerhatikan dengan saksama. Meneliti barangkali ada yang kata-kata yang salah ketik. Mereka berdua terpaku pada layar monitor. Tenggelam dalam kesibukan proses penyelesaian makalah.
“ Eh, Ra. Ada Andi, tuh. “ kata Melii tiba-tiba.
  Dimana?”  Rara kemudian memalingkan pandangan matanya dari layar monitor
Melii menunjuk keberadaan Andi melalui ekor matanya. Kemudian kembali fokus pada layar. Rara mengalihkan pandangannya kearah yang dimaksud Melii. Disana! Dia melewati kelas Rara. Tapi tunggu!  Ada seorang perempuan menyusul dari belakang! Perempuan itu menyikut lengan Andi. Kemudian menggandengnya. Dia Fitri. Anak kelas X-7 pindahan dari SMA Fav dua bulan lalu. Mereka bergandengan, terlihat serasi..
Rara melihatnya dari balik kaca jendela kelasnya. Matanya menunjukkan ekspresi hampa. Memandangi punggung Andi sampai hilang dibalik dinding. Cukup lama ia terpaku pada pemandangan yang membuatnya merasa sakit. Dadanya sesak menahan beban yang tiba-tiba menghantam perasaannya. Rara memaksa bibirnya untuk tersenyum. Mencoba menerima bahwa Andi telah punya seseorang. Walau sebenarnya itu membuat hatinya merasa pedih. Entahlah, mungkin Rara tak berani mengakui. Bahwa ia selalu merindukan Andi. Selalu mengharapkan Andi kembali bersamanya. Sayang sekali, khayalannya itu hanya sebatas cerita disaat Rara bermimpi. Rindu, aku rindu kamu, Di. Aku benar-benar rindu. Sungguh aku ingin berada diposisi Fitri sekarang. Sialan!  Rara memaki dirinya dalam hati. Sudah lama sekali ia mencoba mengubur perasaannya itu. Tapi kini, dengan mudahnya rasa itu hadir kembali. Mengisi penuh hati Rara yang kosong melompong. Rara kecewa pada dirinya sendiri. Ia tak bisa melupakan Andi dengan rentan waktu yang begitu lama. Sungguh, Rara tak mampu.
“ Ra, lo kok bengong, sih?” Melii mulai berbicara. Tapi matanya masih terfokus pada layar. Meskipun begitu, ia mampu melihat Rara dengan ekor matanya. Rara terlihat murung. Wajahnya tak seceria tadi. Diam-diam, Melii menyesal memberitahu Rara insiden Andi lewat tadi. Ia tahu hati sahabatnya telah beringsut sakit kini.
“ Enggak kok.” Jawab Rara datar.
“ Tapi muka lo kok jadi pucat gitu?”
“ Gue lagi laper aja. Tadi gue gak sarapan dirumah. Ke kantin, yuk” ajak Rara
“ Okedeh, ayuk!”
***
“ Lo pesan apa?” Tanya  Melii
“ Nasi goreng ayam. Kalo lo?” kata Rara balik bertanya.
“ Bakso sapi”
“ Gila lo, ya. Pesanan lo bakso mulu. Pantes muka lo mirip bakso lama-kelamaan” canda Rara.
“ Sialan lo!”  ucap Melii sedikit kesal
Mereka mulai menyantap makanan mereka masing-masing. Rara menikmati makanannya sesendok demi sesendok. Mengisi perutnya yang sedari tadi kosong. Ia melahap dengan tenang. Berbeda dengan Melii. Melii makan disertai desahan yang cukup keras. Pedasnya cabai merah goreng dengan saos tomat membuat mulutnya tak berhenti mendesah. Walaupun demikian ia masih nekad menambahkan sesendok cabai ke mangkuk baksonya lagi.
“ Astaga. Udah tau pedes, masih aja nekad nambahin cabe lagi. Entar perut lo sakit, tau rasa!”
“ Kurang pedes, Ra. Lagian perut gue uda kebal sama yang namanya pedes. Jadi, biasa aja, deh!”
“ Jadi ngeri sendiri, nih.”
“ Udah deh. Makan aja tuh nasi goreng lo lagi.” Cerocos Melii bersama desahan pedasnya yg masih membahana.
Rara melanjutkan kembali acara makannya. Tiba-tiba suara seseorang mengagetkan mereka..
“ Hey! Boleh gabung?” Tanya Annabeth tiba-tiba sambil membawa makanannya dan meletakkannya diatas meja.
“ Boleh. Kenapa enggak?” jawab Rara.
“ Sep deh. Buy the way, ini February kan?”
“ Iyaa. Emang lo gak punya kalender ya? Udah tau, pake nanya!” sahut Rara cetus.
“ Haahaah. Lo sensi jugak, Ra.”
“ Yaa, abis lo nanyanya gak mikir dulu. Seluruh dunia pun tau ini tanggal satu February dua ribu empat belas!” Rara menjawab jutek sambil menyuap sesendok nasi goreng ke mulutnya.
“ Iya deh, bawel. Gue cuma mau ngasih aba-aba aja kalo entar lagi Valentine. Ada rencana tukeran kado sama pacar, nggak?”
“ Lo nyindir status  jomblo karatan gue?” Rara bertanya dengan nada ketus.
“ Hah? Lo jomblo, nih?”
“ Sindir gue sekali lagi, nih saos gue tumpahin ke baju lo.” Rara mulai galak. Meski sebenarnya ia hanya bercanda.
“ Wiss, bahaya lu, ah. Gue gak nyinggung lo, bro. Santai aja dong.”
“ Yaiyaa. Lagian tadi gue becanda kok.”
“ Gue tau. Elo emang udah gitu dari sononya.”
“ Hahaah, bisa aja lo.”
“ Oh iya. Denger-denger nih, pas Valentine nanti, Osis bakal ngebacain surat-surat cinta kita ke umum”
“ Maksud lo? Surat cinta apa?”
“ Jadi, Osis bakal nyiapin kotak surat ke setiap kelas. Kita diperbolehkan membuat surat ke orang-orang yang kita sayang. Terus, semua surat-surat yang udah terkumpul bakal dibacain satu per satu didepan umum”
“ Tiap tahun emang gitu kaleee. Kurang up date lo.”
“ Masa? Kok gue baru tau, sih?”
“ Yee. Berita lo mah basi.”
“ Ya maaf, deh” kata Annabeth cemberut seraya memakan makanannya.
“ Kalian pada ngomongin apa, sih dari tadi?” Tanya Melii setelah ia selesai dengan urusan perutnya.
“ Gak ada. Telmi lo!” kali ini Abeth yang sewot menjawab Melii.
“ Yaela. Pelit banget lo ngulang lagi.”
“ Males, ah” kata Abeth lagi.
“ Lo semua udah selesai belum makannya?” suara Rara membahana. Sontak kedua temannya tadi mengangguk cepat. Mereka menyeruput habis teh botol mereka. Kemudian bergerak membayar makanan.
Rara dan Melii pergi meninggalkan kantin. Lain halnya dengan Annabeth, yang biasa dipanggil Abeth itu malah pergi bersama temannya yang lain menuju perpustakaan. Sedangkan Rara dan Melii kembali ke kelas, menyibukkan diri lagi dengan makalah Rara yang belum selesai. Rara bilang, makalahnya bakal selesai sedikit lagi. Nyatanya, makalah Rara serba kekurangan. Kekurangan sumber referensi dan kekurangan bahan pembahasan. Desain makalahnya juga masih acak-acakan. Bener-bener, deh. Padahal makalah itu harus dikumpul empat hari lagi. Melii menarik nafas panjang. Berusaha tetap tenang untuk melanjutkan tugas Rara. Cape juga nih ngerjainnya! Masih banyak lagi yang belum diperbaiki. Ribet, ah. Melii  meneriaki kebodohannya untuk membantu Rara. Tapi ah, yang namanya teman ya begitu. Melii tidak pernah bisa menolak permintaan Rara. Rara juga demikian. Maklum, mereka berteman sejak lama. Sejak masa SMP dulu, di Dharma Bhakti.
***

Mentari mulai menghilang di balik bukit. Senja yang menemani Rara sejak tadi mulai berganti menjadi malam. Tapi Rara masih tetap duduk di depan halaman rumahnya. Duduk beralaskan rumput liar. Di bawah bulan yang remang-remang. Menatap langit yang mulai kelam. Bintang-bintang pun mulai bertaburan. Malam yang sempurna! Bisik Rara pada dirinya sendiri. Sayang sekali. Di malam yang sesempurna itu, Rara justru merasa hampa. Matanya memandang langit dengan penuh harap. Entah apa yang dipikirkannya sekarang. Tapi sorot matanya terlihat pedih. Mengingat kejadian tadi. Andi dan Fitri. Rara sungguh merasa sakit. Bertahun-tahun lalu Rara memendam perasaannya. Bertahun-tahun ia berharap pada Andi. Nyatanya, semua harapan yang ia berikan justru membuat hidupnya menderita. Pernah dulu, dulu sekali. Rara dekat dengan Andi. Kedekatan itu yang membuat cinta ini tumbuh perlahan-lahan dalam diri Rara. Pribadi Andi sangat unik. Dia selalu terlihat ceria. Orangnya humoris juga romantis. Kesedihan yang selalu Rara rasakan perlahan-lahan hilang oleh perilaku Andi yang selalu berhasil membuat tawa Rara menggelegar ceria. Rara selalu merasa bahagia saat bersama Andi. Canda dan tawa selalu mewarnai kebersamaan mereka. Saat itu hubungan mereka hanya sebatas teman. Tapi, Rara tak mau mengharapkan yang lebih. Rara hanya ingin berada disisi Andi. Kapan pun dan bagaimana pun keadaannya. Rara sangat merasa nyaman berada di dekatnya. Andi, nama itu yang hadir dalam tiap mimpi-mimpi Rara. Ketika menginjak SMA, Rara merasa sangat senang. Rara dan Andi berhasil masuk dalam sebuah SMA unggul di kota tempat mereka tinggal. Tapi apa yang terjadi? Andi berubah 18o derajat! Senyumnya untuk Rara pudar kini. Andi tak pernah lagi berbicara dengan Rara. Bahkan untuk bertegur sapa saja tidak! Rara memang berbeda kelas dengan Andi. Tapi itu tak jadi masalah, bukan? Dulu, SMP mereka berbeda. tetapi komunikasi dan hubungan mereka tetap lancar. Justru kini, setelah mereka berada di SMA yang sama, Andi malah berubah. Alasannya jelas Rara tak tahu. Bicara langsung kepada Andi saja dia tak berani. Sorot mata Andi tak seperti dulu lagi. Tak seakrab dulu lagi. Kelam. Ada apa? Kenapa? Rara bertanya-tanya sendiri. Tapi sampai detik ini, jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya tak kunjung tiba. Dada Rara sesak. air mukanya berubah perih. Derita batin yang ia rasakan kini sungguh membuat jiwanya terbebani. Rara bingung harus berbuat apa. Selama ini dia selalu memendamnya. Apa Rara harus memilih untuk memendamnya lagi? Perlahan-lahan rindu yang selama ini selalu ditepis Rara bangkit lagi. Bangkit bersama rembulan yang mulai meninggi. Pertanda malam sudah mulai larut. Rara memilih untuk kembali kerumah. Menonton cartoon mungkin akan mengalihkan perasaannya sementara. Andai kamu tau, Di..
***
“ Raraa!” Melii berteriak tepat didepan telinga Rara. Membuat telinga si gadis itu merasa pekak.
“Apa, sih? Ini perpustakaan! Berisik banget tau!” cetus Rara sedikit kesal. Melii memang selalu begitu. Selalu mengganggu Rara saat sedang sibuk dengan bukunya. Yaa, Melii merasa bosan dong kalau harus nungguin Rara selesai dengan bacaannya. Kalau ketemu buku, Rara benar-benar lupa waktu, lupa sama temannya, lupa sama perutnya, tak hanya itu. Rara juga bisa-bisa lupa diri. Bahaya, kan!
“ Kalo lo masih asik sama bacaan lo, gue ke kantin aja, deh. Laper!”
“ Hmmm. Iya deh”
“Lo gak laper?”
“Enggak”
“Yaudah deh. Gue pergi dulu.” Melii pun beranjak dari tempat duduk. Menuju kantin seberang untuk mengisi perut.
Rara masih berkutat pada buku yang sedang ia baca. Judulnya Langit tanpa Bintang. Menceritakan kisah yang hampir sama dengan apa yang dialaminya bersama Andi. Sayang sekali, ceritanya berakhir bahagia. Tak seperti cerita hidup yang dialami Rara. Entah sampai kapan berakhir, Rara pun tak tahu.
Sebentar lagi Valentine day. Rara memikirkan sesuatu. Kotak surat..
Rara mulai berpikir untuk melakukan sesuatu. Rara segera mengambil secarik kertas. Jemarinya menari-nari bersama pena ukuran kecil berwarna biru. Sesekali, ia menatap langit-langit perpustakaan. Memikirkan sejenak apa yang akan ia tuliskan. Imajinasinya dia biarkan mengalir begitu saja. Ia hanya mengikuti aliran imajinya sebisa mungkin. Merangkai kata demi kata dengan seksama. Merasa cukup, ia pun mengembalikan buku yang ia baca di perpustakaan tadi. Membereskan alat-alat tulisnya, dan segera beranjak keluar dari perpustakaan. Menyusul Melii di kantin seberang. Ditentengnya tempat pensil berpita biru dan melipat secarik kertas yang menjadi objek imajinasinya tadi. Kertas itu disimpannya di kantung seragam bagian kiri atas. Sepertinya ia tak mau ada seorang pun yang akan membacanya.
***
Rara berdiri di depan kotak surat Valentine. Jemarinya menggenggam sebuah kertas yang terlipat rapi. Ia terlihat ragu. Batinnya berperang, antara memasukkan kertas tersebut atau tidak. Rara memberanikan diri mendekatkan ujung  kertas itu ke bibir kotak. Tapi..
“Hey. Nulis surat buat siapa?” Seseorang mengagetkan Rara. Sialan!  Rara menarik nafas. Merilekskan saraf-sarafnya yang sedari tadi kejang. Menenangkan jantungnya yang berdetak cepat. Ketahuan deh! Rara memalingkan wajah ke sumber suara. Fitri..
“Oh. Ya ampun. Lo ngagetin gue banget tauuu” kata Rara. Ada perubahan pada ekspresi wajah Rara. Ada sorot mata sinis yang terpancarkan olehnya. Tapi, ia berusaha menutupi.
“Hayoo. Ketahuan, nih.”
“Yee, ini tuh suratnya temen gue. Dia nyuruh gue masukin ke kotak. Dia lagi dikamar mandi, tauu” Rara membalas tak mau kalah. Bohongnya kali ini refleks sekali. Tapi masuk akal juga, sih.
“Oh gitu ya. Gak percaya, Ra” Fitri membalas lagi.
“ Yaudah. Ini surat gue balikin ke teman gue, deh. Biar dia sendiri aja yang masukin ke kotak. Biar lo gak curigain guee’’ Rara bohomg lagi.
“Haahah. Terserah lo deh, Ra”
Buy the way, lo ngapain disini?” Rara bertanya.
“Gue? Oh. Gue lagi nungguin Andi. Dia lagi dikantor guru. Ngurusin seleksi pemilihan Group Olimpiade sama Pak Raston”  Fitri menjawab sedetail mungkin. Rara bergidik mendengar jawaban Fitri. Gak penting tau!
“ Yaudah, deh. Gue balik dulu yaa,” Rara memutuskan untuk mengakhiri percakapannya dengan Fitri. Ia berbalik dan menuju kantin. Menemui Melii dan segera mengajaknya pulang. Disimpannya kembali kertas berlipat itu dengan hati-hati dikantungnya. Ia memutuskan untuk tidak akan memasukkannya ke kotak. Tidak, tidak akan pernah. Cemburu lagi. Dia merasa cemburu dengan Fitri. Rasa cemburu itu membakar akal sehat Rara. Entahlah, dia tidak mau berpikir panjang lagi. Surat yang ia tulis kini tetap didalam genggamannya. Sampai kapan pun, mungkin Andi tak akan pernah tahu..
***
Rara duduk beralas rerumputan lagi ditengah sinar rembulan. Entah sudah berapa lama ia habiskan waktunya berdiam diri disana. Ia menatap langit, sorot matanya yang kosong menandakan keperihan yang ia rasakan. Kertas yang ia genggam sedari tadi ia buka perlahan-lahan. Matanya menelusuri kalimat demi kalimat. Ia membaca dalam hati..

Ibarat langit, yang datang menerangi dengan sang mentari. Kau terangi hati ini, dengan kasih paling suci. Dan ketika gelap mulai datang membayang, kau hadirkan bintang-bintang kecil dan rembulan  sebagai penerang gempita. Saat jiwa ini mulai redup dan temaram, kau hadirkan bagiku si penenang jiwa. Senyum dan tawamu, hai langit! Cinta ini tumbuh terlalu dalam untukmu. Akarnya yang kuat menghujam jantung yang mulai lemah.Rindu yang menemaniku kini hinggap dalam setiap tetesan darah. Cinta ini begitu melekat dalam sudut hati yang rentan. Cinta ini untukmu wahai langit!
Sayang, jarak tetap saja membentang, jarak selalu menjadi penghalang. Begitu panjang. Sampai detik-detik nadiku yang berdenyut serasa lengang. Seakan tak mungkin membawaku menujumu. Kau begitu jauh, merebak, mendekam setiap hari yang kulalui dengan jarak tak terbayang. Perih ketika mata ini memandang langit. Karna kemana pun kubawa diriku berlari, langit tetap disana. Menelungkupi semesta. Melebar dan meluas diangkasa. Entah bagaimana lagi kuartikan hidup ini. Aku semakin lelah dengan rindu yang semakin merembes masuk dalam setiap tarikan nafas. Aku semakin yakin kau tak mampu kugapai. Aku pun semakin berharap jarak dan waktu datang menerkam. Dan segera mengakhiri kesia-siaan ini. Segera mengakhirinya..
Langit ku kini berubah warna menjadi kelam..
Aku tak tahu apa yang menjadi penghalang bagi kita. Seiring berjalannya waktu, jarak antara kita semakin melampaui segala asa. Aku tak tahu harus mengakui apa. Aku tak mengerti dengan sikapmu kini. Kucoba lupakan, namun aku tak mampu. Nyatanya, apapun yang terjadi, cinta ini tetap milikmu. Cinta yang bertahun-tahun tersimpan dalam debu-debu kerinduan..
Terima kasih, Langit biruku..
                                                                                                                         Missyou,
                                                                                                                    
                                                                                                                 R.S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar